MAJULAH BAYUNGKA RAYA!!


MAJULAH BAYUNGKA RAYA!

Mengenai Saya

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
@bayungka

Selasa, 07 Februari 2012

Gradus Comparationis


Ini bukan dekadensi. Tapi proses hijrah dari negara persemakmuran ke negara bayungka Raya. Jaraknya dari jawa bagian tengah menuju jawa bagian barat. Proses hijrahku menggunakan kereta yang sudah tak lagi ditarik oleh kuda, dan diatas besi yang mengkalungi bumi. Tepat sesuai serat Jangka Jayabaya.

Itu ketika saya masih di negara persemakmuran. Masih makmur-makmurnya secara financial dan fisikal. Pagi-pagi si mbak udah nganter susu kekamar, identik dengan pesan antar. Bedanya kalo si mbak gak pernah dipesan oleh siapapun. Kecuali oleh orangtuanya, pesannya untuk menjadi si mbak yang sholehah. 

Si mbak paling takut jika masuk negara persemakmuran. Karena di depan pintu sudah kutuliskan “Selain Malaikat dilarang masuk!”.  Makanya dia pernah kupaksa memakai sayap kalau mau naruh baju di lemari. “Biar dikira malaikat mbak, biar saya gak tau”.

Alasannya sih bukan apa-apa,ini hanya penerapan geopolitik yang kupelajari di Koran harian local. Dulu koran adalah oleh-oleh yang harus Bapak bawa tiap pulang dari kantor untuk menemuiku. Durhakalah  saya, sampai-sampai  aku lebih merindukan koran yang beliau bawa. Padahal isi koranya hanya deskripsi kutipan dari situs-situs terkenal. Tak apalah, yang penting koran. Bukan buku modul matematika.

Negara persemakmuran dipenuhi gambar bung Karno, Werkudara, dan foto pornografi. Foto telanjang seorang bayi yang tak kelihatan kemaluannya. Apalagi dipenuhi coret-coretan di mukanya. Dikasih  kacamata bulat dan cerutu di mulutnya. Yah, itu foto bayi saya, yang sengaja kucoret-coret ketika TK. “Biar nanti jadi penulis buk, ditulis oleh sejarah!”.

Ibuk adalah sosok elegansi yang eksplosif kadang-kadang dan sedikit ekstremis. Tapi dia baik, dia yang mengusulkan ekspansi untuk negara persemakmuran ini agar lebih luas. Alasanya biar saya cepat besar. Entah apa hubungannya walaupun setelah dihitung dengan intercept, uji F, uji T dan pendugaan variabel tidak akan ketemu. Mungkin dia pikir saya mirip ikan lou han, lebih besar akuarium lebih cepat kami tumbuh.

Ibuk sering marah-marah kalau negara persemakmuran berantakan. Padahal dia harus tahu, kamar berantakan oleh koran-koran seminggu yang lalu. Bukan olehku.
Tapi dia baik, dia mengizinkan saya merusak peralatan masak di dapur. Tak lain karena dia yakin tiap manusia di dunia ini bisa masak, asalkan tujuannya adalah gosong.

Dia juga orang pertama yang memahami seni. Orang-orang disekolahku terdikotomi oleh objektifitas. Mereka fikir objektifitas itu kebenaran nyata dan berasal dari Tuhan. Padahal kau harus tahu, objektifitas hanya kumpulan subjektifitas-subjektifitas orang banyak yang dianggap benar pada masa itu. Tidak untuk tiga milyar lima puluh empat tahun lagi.

Kala itu Ibu adalah orang yang mendukung sekte ku. Sekte untuk tidak menggaris tepi sebuah tugas melukis anak SD. Apadaya Guruku adalah orang yang menentangnya, “GARIS TEPI BIAR RAJIN!”. Katanya
Oh, Tuhan apa hubunganya garis tepi dengan kerajinan? Luciferpun pasti tidak akan setuju. Mana mungkin seni itu sebatas garis tepi. Bagaimana kalau aku menggambar keadaan perang bharatayudha dibalik tembok china? Apakah juga butuh garis tepi?

Jawabanya butuh jika mengerjakan hitungan logaritma bangun ruang, bukan untuk seni.
Sudahlah, itu hanya Indonesiawi, yang akan dihadapi oleh juataan anak Indonesia lain.

Negara persemakmuran menorehkan banyak sejarah, termasuk sejarah begitu rajinnya aku bangun siang. Dan betapa rajinnya aku untuk bermalas-malasan. Bukan malas, hanya rajin untuk malas. Kerajinan ! Hidup itu tinggal bagaimana kita membuat kesenangan, bukan mencari kemewahan.
Negara persemakmuran dengan alas an liburan kuliah, diiringi dekresendo.